Magetan — Sigap88.net — Gagalnya mediasi kedua dalam kasus dugaan bullying yang melibatkan oknum guru SMP Negeri 1 Maospati menegaskan bahwa perkara ini tidak lagi sekadar konflik personal, melainkan berpotensi menjadi kasus pidana serius sekaligus cerminan krisis etika profesi pendidik.
Mediasi yang digelar Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Magetan pada Selasa, 23 Desember 2025, berakhir tanpa kesepakatan.
Mediasi berlangsung alot lantaran pihak terlapor dinilai tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh pelapor, Fendy Sutrisno, orang tua korban dugaan bullying. Kegagalan tersebut semakin menguatkan sikap pelapor yang sejak awal menolak penyelesaian damai.
Kepala Unit PPA Satreskrim Polres Magetan, Totok Sudaryanto, membenarkan bahwa upaya mediasi tidak membuahkan hasil. Ia menyampaikan bahwa tidak tercapai titik temu antara kedua belah pihak.
“Mediasi tidak berhasil. Terlapor tidak sanggup memenuhi persyaratan dari pelapor,” tulis Totok Sudaryanto saat dikonfirmasi awak media melalui pesan singkat WhatsApp.
Di sisi lain, pelapor Fendy Sutrisno menegaskan bahwa kegagalan mediasi justru menguatkan keyakinannya bahwa kasus ini harus diproses melalui jalur hukum.
Menurutnya, dugaan tindakan bullying oleh seorang pendidik bukan perkara sepele yang bisa diselesaikan dengan kompromi.
“Saya menginginkan agar guru itu bisa dihukum sesuai aturan yang berlaku. Harus ada efek jera, supaya tidak melakukan hal yang sama lagi di kemudian hari,” tegas Fendy saat dihubungi awak media melalui sambungan telewicara.
Fendy menilai, tindakan yang diduga dilakukan oknum guru tersebut telah melenceng jauh dari nilai dan etika profesi pendidik. Ia menegaskan bahwa guru seharusnya menjadi teladan moral dan pelindung anak, bukan justru melontarkan perilaku atau ucapan yang merendahkan martabat peserta didik.
“Guru itu seharusnya mendidik dengan sikap santun dan profesional. Bukan menjadikan urusan orang tua sebagai bahan olok-olokan di sekolah, apalagi di hadapan orang lain,” ujarnya.
Lebih jauh, Fendy mendesak Polres Magetan agar menangani perkara ini secara objektif, profesional, dan transparan. Ia menilai keberanian aparat dalam menindaklanjuti kasus ini akan menjadi tolok ukur kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
“Kami minta polisi bertindak adil dan transparan, supaya masyarakat percaya bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang kasta dan background,” katanya.
Menurut Fendy, selama ini banyak dugaan perilaku negatif oknum guru di lingkungan sekolah yang tidak pernah terungkap karena korban maupun orang tua korban memilih diam akibat takut intimidasi dan tekanan sosial.
“Masalah perilaku guru yang negatif sering terjadi, tapi tidak ada yang berani speak up. Karena itu saya akan terus memantau dan mengawal kasus ini sampai benar-benar tuntas,” pungkasnya.
Secara hukum, dugaan bullying yang menyeret oknum guru SMPN 1 Maospati ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76C, setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan psikis dan verbal seperti merendahkan, mempermalukan, atau mengolok-olok.
Sanksi atas pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 80 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta, yang dapat diperberat apabila pelaku memiliki relasi kuasa, termasuk sebagai pendidik di lingkungan sekolah.
Tak hanya itu, tindakan bullying juga bertentangan dengan Kode Etik Guru Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, yang mewajibkan guru menciptakan lingkungan belajar yang aman, bermartabat, dan bebas kekerasan.
Gagalnya mediasi kedua ini menandai babak baru penanganan kasus dugaan bullying tersebut. Publik kini menanti langkah tegas Polres Magetan, apakah dugaan pelanggaran pidana dan etika profesi ini benar-benar diproses secara hukum, atau kembali berhenti di tengah jalan. (Uv)






