Pamekasan, NET88.CO – Kasus Polindes di desa Panglegur yang berpenghuni kambing dengan dipenuhi kotoran menjijikkan yang sempat ditempati Bidan desa bernama Fina terus disorot dan berbuntut panjang.
Setelah sebelumnya, sejumlah wartawan yang tergabung di Ikatan Wartawan Online (IWO) mendatangi Dinkes Pamekasan untuk mempertanyakan keseriusan kinerja di bidang peningkatan layanan kesehatan, IWO kembali menunjukkan sikap tegas dengan mendesak Kepala Puskesmas melalui audiensi agar segera mengaktifkan kembali Polindes mubadzir yang sudah bertahun- tahun tidak ditempati.
Ketua IWO Pamekasan, Diah Heny mengatakan, peningkatan layanan kesehatan secara prima kepada masyarakat mulai tingkat Polindes, Puskesmas hingga RSUD merupakan satu program pemerintah daerah yang trus digelorakan.
“Namun fakta yang terjadi bertolak belakang 180 derajat. Itu artinya, seluruh elemen kesehatan harus lebih serius lagi meningkatkan kinerjanya,” kata Diah Heny saat Audiensi. Rabu, 31/01/2023
Oleh karenanya, seluruh pengurus dan jajaran IWO Pamekasan tergerak untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. “Intinya, kami datang ke Puskesmas dalam rangka menyampaikan aspirasi masyarakat yang sangat menginginkan Polindes tak berpenghuni itu dibuka dan diaktifkan kembali,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Bidang kehumasan Ansory meminta kejelasan dan kepastian Kepala Puskesmas Tlanakan.
Sementara, Heni Kepala Puskesmas Tlanakan, yang mengaku baru diangkat Kepala Puskesmas Talanakan pada Juli 2023 memberikan janji manis dan akan mencoba menyelesaikan masalah.
“Perlu diketahui bersama bahwa kami diangkat pada akhir Juli tahun 2023 dan akan mencoba menyelesaikan masalah Polindes dan mengembalikan fungsinya sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat,” kata Kapus diharapkan para pewarta IWO.
Menurut dia, langkah itu sejalan dengan program pemerintah yang namanya program ILP yakni Integrasi Layanan Primer.
“Program baru tersebut diluncurkan pemerintah untuk semakin mendekatkan pelayanan itu ke desa, bagaimana mengontrol masyarakat kesehatannya. Nanti disana akan kami fungsikan sebagaimana fungsinya Polindes. Disitu nanti selain ada bidan juga ada kader yang akan difungsikan. Jadi memang kami sudah berupaya untuk melakukan rangka bagaimana polindes itu difungsikan,” terang Kapus Tlanakan.
“Saya dengan pak KTU sudah dari dulu ada upaya untuk itu, setiap hari ditempati. Kemungkinan pagi sampai dengan sore. Nah, pagi sampai siang jam kerja itu akan ada tahapan tahapannya,” tambahnya.
Sebelum itu, pihaknya akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu. “Kita akan melakukan tahapan sosialisasi dulu karena harus melatih kader juga, ada kader yang harus kita latih, kemudian ada bidan. Jadi, ini bener bener integrasi untuk bagaimana kita mendukung tentang layanan primer dan kesehatan masyarakat itu terutama penyakit kronis,” tandasnya.
Disisi lain, masyarakat mengharapkan agar Polindes tersebut bisa dioperasionalkan kembali, dan bidan yang ditugaskan harus menempati Polindes yang sudah disediakan.
“Polindes ini sejak awal dibangun tidak jelas dan buktinya sampai sekarang tidak terawat. Sebenernya sempat ditempati oleh bidannya, tapi tidak maksimal. Yang menempati yaitu keluarganya pak carek (S) tapi tidak lanjut, sehingga Polindes tidak terawat bahkan listriknya padam setiap malam,” kata Warga setempat inisial M.
“Kasihan masyarakat. Disini, banyak kok pasiennya. Banyak sekali keluhan dari masyarakat setempat karena tidak adanya penetapan rumah Polindes ini dan tidak ada pengoperasionalan atau tidak ada bidannya, sehingga masyarakat disini periksa di desa Ceguk, desa Gugul, dan Dusun Glagga. Tidak semua masyarakat disini ke Bu Fina karena merasa kecewa sudah tidak menetap di Polindes,” keluhnya.
Pihaknya menyayangkan Polindes di desanya tidak dioperasionalkan dengan baik, bahkan sudah banyak kotoran kambing yang menjijikkan.
Kemudian, saat pewarta mendatangi bidan desa yang pernah me menempati Polindes kotor berpenghuni kambing terbit, suami sang bidan bernama Dayat ikut nimbrung memberikan komentar.
Dayat mengatakan, sebelum ada Polindes, rumah yang ditempatinya sekarang itu sudah jadi, karena awal mengajukan Polindes tersebut memang berdekatan dengan SD lantaran ada tanah percaton.
“Dulu sudah saya urus kesana kesini, waktu istri saya hamil anak pertama. Setelah diurus katanya positifnya di SD itu dan kebetulan saya punya tanah, jadi kan dekat kalau saya bangun disini. Akhirnya saya bangunlah rumah ini. Setelah saya menempati sekitar 8 bulan- 1 tahun, tiba-tiba ada pembangunan Polindes, tapi dibelakang. Siapa yang mau menempati kalau disana? Kalau memang tidak ada yang mau menempati, kenapa dipaksakan dibangun disana? kan begitu,” ujar Dayat kepadaq pewarta.
“Katanya Polindesq itu posisinya harus strategis, sedangkan disana jalannya rusak tidak diperbaiki. Sebenernya proposal yang istri saya ajukan itu di deket SD sini, karena ada tanah percaton. Istri saya sudah mengajukan 2 kali dan pengajuannya itu sudah lama dan tidak ada kabar sama sekali. Polindes itu tidak ditempati sama istri saya karena rumah ini sudah jadi, sedangkan Polindes belum. Kalau memang mau bangun di sebelah sana, kenapa kok tidak dikonfirmasi atau dikontrol atau disurvei dulu ke bidannya, kan biasanya seperti itu,” ulasnya.
Mestinya, lanjut Dayat, jika
mengajukan proposal ditanyakan apa sudah punya rumah atau apa masih ngontrak.
“Sedangkan saya yang bangun rumah ini, Polindesnya belum di bangun. Disana itu tempatnya tidak strategis, Karena disana perbatasan Branta tinggi dengan Panglegur. Sedangkan istri saya ini pegang 2 dusun. Seharusnya polindes itu kan di tengah-tengah. Kalau dibangun disana kan kasihan yang Glagga jauh,” ungkapnya.
Demi kemaslahatan masyarakat yg mewujudkan layanan kesehatan yang lebih baik.